Di ujung barat Sumatera, di antara hempasan ombak Samudra Hindia dan rimbunnya hutan tropis Mentawai, seorang dai muda berjalan menembus sunyi. Namanya Bayu Rizqon Azzrahwad, alumni Program Studi Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, angkatan 2019. Di usianya yang masih muda, Bayu memilih jalan pengabdian yang tak banyak ditempuh oleh generasi sebayanya: berdakwah di pedalaman Kepulauan Mentawai, jauh dari hiruk-pikuk kota.
Langkah Awal: Dari Kampus ke Tanah Dakwah
Perjalanan Bayu bermula dari bangku kuliah. Ia dikenal sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi keagamaan dan Himpunan Mahasiswa. Ia pernah menjabat sebagai Ketua HMPS Manajemen Dakwah pengurus Formadiksi dan BEM UIN Suska Riau. ia juga memiliki kepedulian tinggi terhadap kegiatan sosial keislaman. Di Prodi Manajemen Dakwah, Bayu ditempa bukan hanya dengan teori dakwah, tetapi juga dengan manajemen kegiatan keagamaan, komunikasi dakwah, dan strategi penyuluhan masyarakat. Semua ilmu itu, kelak, menjadi bekal berharganya di lapangan dakwah yang sesungguhnya.
Setelah menuntaskan studi pada tahun 2023, Bayu memutuskan untuk mengikuti seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) formasi 2024 di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia. Ia memilih formasi Penyuluh Agama Islam, bukan karena ingin mencari posisi yang aman, melainkan karena panggilan hati. “Saya ingin dakwah saya nyata. Saya ingin berada di tengah masyarakat yang benar-benar membutuhkan bimbingan,” ujarnya dengan nada mantap.
Doa dan usaha itu tak sia-sia. Bayu dinyatakan lulus seleksi PNS dan mendapat penugasan di tempat yang jauh dari kampung halaman: Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pagai Utara Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.
Jejak di Negeri Ombak
Bagi banyak orang, penempatan di Mentawai mungkin dianggap sebagai tantangan berat. Daerah ini terkenal dengan medan alamnya yang sulit dijangkau, kondisi geografisnya berupa gugusan pulau-pulau terpisah, serta infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Bayu justru melihatnya sebagai ladang pengabdian yang menantang. “Saya tidak ingin hanya berdakwah di tempat yang nyaman. Justru di tempat yang sulitlah dakwah kita diuji,” tuturnya.
Setiap kali menjalankan tugas, Bayu harus menempuh perjalanan panjang. Dari pusat kecamatan menuju dusun-dusun terpencil, ia sering kali menggunakan perahu kayu kecil, melintasi sungai, bahkan berjalan kaki berjam-jam di jalan berlumpur. Tidak jarang hujan lebat mengguyur sepanjang perjalanan, membuatnya harus menepi dan beristirahat di rumah-rumah warga setempat.
Namun, sesampainya di tujuan, lelah itu sirna. Wajah-wajah masyarakat yang menyambut dengan senyum hangat menjadi sumber semangatnya. “Mereka haus akan bimbingan, haus akan ilmu agama. Ketika saya datang, mereka menyambut seperti keluarga,” kata Bayu.
Dakwah di Pedalaman
Sebagai penyuluh agama, Bayu tidak hanya memberikan ceramah di masjid. Ia juga aktif melakukan pendampingan sosial dan pendidikan agama di pelosok desa. Dalam satu pekan, ia bisa mengunjungi beberapa lokasi berbeda, mulai dari kampung pesisir hingga dusun pedalaman yang belum terjangkau listrik dan sinyal komunikasi.

Materi dakwah yang disampaikan Bayu disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Ia mengajarkan tauhid dan akhlak dasar, membantu warga belajar membaca Al-Qur’an, mendampingi mereka dalam administrasi pernikahan dan pembinaan keluarga sakinah, hingga memberikan penyuluhan tentang kebersihan dan kesehatan dalam perspektif Islam.
“Dakwah di sini tidak bisa dengan pendekatan teks semata. Saya harus menggabungkan pendekatan budaya dan sosial agar masyarakat bisa menerima dengan baik,” jelasnya.
Ia sering menggunakan bahasa lokal sederhana dan perumpamaan yang akrab dengan kehidupan masyarakat Mentawai, agar pesan dakwah bisa dipahami dengan mudah.
Tantangan dan Keteguhan
Menjalankan tugas di daerah terpencil tentu tidak mudah. Fasilitas terbatas, listrik hanya hidup beberapa jam di malam hari, akses internet hampir tidak ada, dan biaya transportasi sering kali ditanggung sendiri. Namun Bayu tidak mengeluh. Ia justru melihat semua kesulitan itu sebagai ujian kesungguhan berdakwah.
“Kalau dakwah hanya di tempat nyaman, kita tidak akan tahu makna pengorbanan. Di sinilah saya belajar arti sabar, ikhlas, dan benar-benar melayani umat,” ujarnya lirih.

Ada kalanya ia harus berjalan puluhan kilometer untuk menemui satu keluarga muslim yang tinggal terpencil di tengah komunitas nonmuslim. Di sana, ia tidak hanya menjadi penyuluh agama, tetapi juga menjadi sahabat, guru, bahkan keluarga. Ia mendengarkan keluh kesah mereka, menguatkan mereka, dan memastikan mereka tetap mendapatkan cahaya iman di tengah keterbatasan.
Dari Kampus untuk Umat
Bayu selalu mengenang masa-masa kuliahnya di UIN Suska Riau sebagai fondasi dakwahnya saat ini. Ilmu yang dia dapat di bangku kuliah, terutama dalam bidang manajemen kegiatan dakwah, komunikasi interpersonal, dan strategi pembinaan masyarakat, terbukti sangat relevan dengan tugasnya sekarang.
“Saya bersyukur pernah belajar di Prodi Manajemen Dakwah. Ilmu manajemen yang saya dapat membantu saya mengatur jadwal penyuluhan, menyusun program dakwah, dan membangun jejaring dengan masyarakat serta tokoh adat,” tuturnya.

Bayu juga menegaskan bahwa semangat dakwah yang dia bawa adalah semangat rahmatan lil ‘alamin — membawa kedamaian, bukan perpecahan. Ia berusaha mengedepankan pendekatan yang santun dan menghargai kearifan lokal masyarakat Mentawai.
“Saya datang bukan untuk mengubah budaya mereka secara paksa, tapi untuk menanamkan nilai Islam yang damai dan menghormati perbedaan. Di sinilah tantangan dakwah yang sebenarnya,” ujarnya.
Inspirasi bagi Generasi Dakwah Muda
Kisah Bayu menjadi inspirasi bagi banyak alumni dan mahasiswa UIN Suska Riau lainnya. Di saat sebagian orang lebih memilih berkarier di perkotaan, Bayu justru menunjukkan bahwa dakwah sejati tidak bergantung pada tempat, melainkan pada niat dan keikhlasan hati.
“Menjadi penyuluh agama bukan sekadar profesi. Ini amanah. Kita harus siap hadir di mana pun umat membutuhkan,” pesannya kepada para mahasiswa yang masih menempuh studi dakwah.
Ketua Program Studi Manajemen Dakwah, Rafdeadi, S.Sos.I., M.A, turut memberikan apresiasi atas kiprah alumninya itu. “Bayu adalah contoh nyata alumni Manajemen Dakwah yang mampu mengimplementasikan ilmu dakwah secara nyata di lapangan. Kami bangga melihat dedikasinya di daerah terpencil. Inilah semangat yang harus diteladani,” ujarnya.
Menebar Cahaya di Tanah Sunyi
Kini, setiap kali matahari terbenam di ufuk barat Mentawai, Bayu masih terlihat duduk bersama masyarakat di surau kecil beratap daun rumbia. Ia mengajar anak-anak mengaji dengan penerangan lampu minyak. Kadang, setelah mengajar, ia ikut membantu warga memperbaiki perahu atau menyiapkan bahan makanan untuk acara adat. Semua dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih.
Baginya, dakwah bukan sekadar menyampaikan ceramah, melainkan hadir dan memberi manfaat nyata.
“Dakwah yang berhasil bukan diukur dari banyaknya jamaah, tapi dari seberapa besar hati kita bisa menyentuh hati orang lain,” katanya dengan senyum.
Di tengah gemuruh ombak dan heningnya malam pedalaman, kisah dakwah Bayu terus bergulir. Ia menjadi saksi bahwa dakwah tidak selalu bersuara keras di panggung besar, tapi bisa tumbuh dari langkah-langkah sunyi di tanah terpencil, dari hati yang tulus mengabdi.
Dari Pagai Utara Selatan, cahaya dakwah itu terus berpendar-menerangi, menyentuh, dan meneguhkan keyakinan bahwa pengabdian sejati tidak mengenal batas tempat, waktu, atau medan.
Penulis. Roma Asnawi
Prodi Manajemen Dakwah Website Resmi Prodi Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau